Kesultanan Kutai Kartanegara menggelar Beluluh Sultan. Beluluh dilaksanakan di Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura di Jalan Toraga Timur Tenggarong pada hari ini, Rabu (21/9/22). Ritual tersebut dihadiri para pejabat Kesultanan dan para pejabat Pemerintah di lingkungan Pemkab Kukar dan para undangan lainnya.
Beluluh Sultan adalah bagian dari ritual pada upacara adat Erau Beluluh dilangsungkan menjelang pembukaan Erau dengan tujuan untuk menyucikan Sultan Kutai dari berbagai unsur kejahatan, baik yang terlihat maupun yang gaib. Dalam ritual ini Sultan akan didudukkan di sebuah balai dan menjalani sejumlah prosesi.
Beluluh berasal dari kata “buluh” yang berarti batang bambu dan “luluh” yang berarti musnah. Prosesi beluluh diawali dengan Sultan Kutai yang didudukkan sejenak di atas tilam kasturi. Selanjutnya Sultan menaiki balai bambu dengan berpijak pada pusaka batu tijakan. Sultan duduk di atas singgasana dari balai bambu di bawah ikatan daun beringin (rendu) dan dipayungi selembar kain kuning yang disebut kirab tuhing yang dipegang oleh 4 orang pemuda. Tuhing dalam bahasa Kutai bermakna pantangan. Balai bambu tersebut diletakkan di atas lukisan sakral tambak karang. Kaki balai bambu tersebut dihiasi dengan daun kelapa dan diletakkan peduduk atau sesajian.
Selanjutnya dilakukan prosesi tepong tawar yang dipimpin oleh dewa (pemimpin ritual) yang membacakan mantera dan memercikkan air bunga ke sekeliling Sultan. Selanjutnya dewa menyerahkan mangkuk berisi air bunga kepada Sultan dan Sultan mencelupkan tangan dalam mangkuk air bunga tersebut dan mengusapkan air bunga pada bagian wajah. Berikutnya dewa akan menaburkan beras kuning ke arah Sultan.
Setelah tepong tawar dilakukan ritual ketikai lepas, sebuah anyaman dari janur / daun kelapa yang jika ditarik oleh Sultan dan tamu kehormatan dari arah yang berlawanan.
Sesudahnya tambak karang akan dibawa ke jalanan di depan tangga masuk Kedaton. Biasanya, masyarakat telah ramai menanti abdi keraton membawa gulungan tikar berisi beras berwarna-warni. Beras tersebut diperebutkan masyarakat yang percaya bahwa beras berwarna yang berjatuhan dari gulungan tikar tersebut membawa keberkahan.
Setelah upacara adat Beluluh Sultan dituhingkan atau dipantangkan menjejakkan kakinya langsung ke tanah, kecuali tanah tersebut telah diberi alas berupa kain kuning.